Jumat, 10 Mei 2019

maintenance kereta api


MAINTENANCE KERETA API DI INDONESIA BERDASARKAN SOP
Kereta api (KA) adalah sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya yang akan ataupun sedang bergerak di rel. KA juga merupakan alat transportasi massal yang umumnya terdiri dari lokomotif (kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan rangkaian kereta api atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya). Rangkaian kereta api atau gerbong tersebut berukuran relatif luas sehingga mampu memuat penumpang atau barang dalam skala yang besar. PT. Kereta Api Indonesia (Persero)/PT. KAI sebagai perusahaan yang menyediakan jasa layanan KA dituntut untuk mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai angkutan massal dengan tarif terjangkau. Manajemen prasarana KA saat ini memainkan peran penting untuk menjawab tantangan bisnis transportasi KA (Marco Macci, dkk., 2012). Situasi ini menciptakan tantangan 100 Jurnal Penelitian Transportasi Darat, Volume 17, Nomor 2, Juni 2015: 99-110 tersendiri bagi PT. KAI dalam konteks manajemen perawatan, baik perawatan sarana maupun prasarana, mengingat berbagai macam material/ komponen teknologi yang digunakan oleh KA membuat tata kelola sumber daya yang terlibat dalam operasi perawatan merupakan persoalan yang kompleks (UNIFE, 2008). Memang banyak cara bagi operator KA untuk memenuhi aturan yang mengikat terkait dengan aspek keselamatan (Den Hertog D, dkk. (2001), Van Zante-de Fokkert JI, dkk. (2001), Roberts C, dkk. (2002)).
Di beberapa negara, menentukan prosedur perawatan dan frekuensi untuk perawatan preventif bertujuan utama memberikan tingkat keselamatan yang tinggi (Carretero J. dkk., 2003). Beberapa negara telah melakukan perawatan KA dengan berbagai macam analisis, diantaranya Pedregal dkk. (2004) menggarisbawahi bagaimana operator kereta api merestrukturisasi manajemen perawatannya melalui penggabungan beberapa teknik, seperti Reliability Centered Maintenance (RCM) dan perawatan prediktif guna mencapai pengendalian yang ketat terhadap kualitas layanan dan biaya efektifitas sirkulasi kereta api. Kumar dkk. (2000) telah menunjukkan bagaimana tindakan preventif dalam pekerjaan perawatan KA dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kegagalan pada komponen-komponen KA. Sedangkan Zio dkk. (2007) mengusulkan pendekatan risiko-informasi untuk meningkatkan pelayanan jaringan KA, sembari mempertahankan standar keselamatan yang tinggi. Tulisan ini mengetengahkan evaluasi perawatan sarana perkeretaapian pada Balai Yasa dan Depo sarana perkeretaapian dengan melakukan pemetaan terhadap kondisi peralatan/mesin sebagai dasar untuk pembinaan dan penilaian uji kelaikan sarana perkereta apian. Peralatan yang direkomendasikan tersebut termasuk juga peralatan pengujian dan peralatan pemeriksaan sarana perkeretaapian serta peralatan kerja lainnya.






Gambar 1. Klasifikasi Perawatan.
Perawatan terencana merupakan perawatan yang diorganisasikan dan dilakukan dengan pemikiran ke masa depan, pengendalian dan pencatatan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam perawatan terencana, suatu peralatan akan mendapat giliran perbaikan sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan sehingga kerusakan yang lebih besar dapat dihindari. Interval waktu perbaikan ini ditentukan terutama berdasarkan beban dan derajat kerumitan peralatan yang bersangkutan. Di samping itu, dengan perawatan terencana diharapkan pula dapat menjamin keakuratan produksi sehingga pada akhirnya kualitas, hasil dan kelangsungan produksi dapat terpelihara dengan baik. Perawatan terencana terbagi menjadi perawatan pencegahan (preventive maintenance) dan perawatan korektif (corrective maintenance).
Perawatan pencegahan merupakan perawatan yang dilakukan untuk memperbaiki suatu bagian (termasuk penyetelan dan reparasi) yang telah terhenti untuk memenuhi suatu kondisi yang bisa diterima. Perawatan pencegahan termasuk di dalamnya adalah cleaning, inspection, perawatan jalan (running maintenance) yaitu perawatan yang dapat dilakukan selama mesin beroperasi, dan perawatan berhenti (shut down) yaitu perawatan yang hanya dapat dilakukan selama mesin berhenti. Melalui pemanfaatan prosedur perawatan pencegahan yang baik, dimana terjadi koordinasi antara staf bagian produksi maupun staf bagian perawatan sehingga kerugian operasional dapat diperkecil, diantaranya mengurangi biaya perbaikan dan menghilangkan interupsi jadwal yang telah direncanakan. Hubungan harmonis antara staf bagian produksi dan staf perawatan sangat diperlukan guna menghasilkan produk berkualitas dengan efisiensi tinggi dan biaya rendah. Pada dasarnya perawatan pencegahan memegang prinsip bahwa mencegah terjadinya kerusakan lebih baik daripada memperbaikinya. Pencegahan seharusnya sudah diantisipasi sejak perencanaan alat kerja, alat uji atau pemeriksaan, lokasi, fasilitas penunjang memberikan aksesibilitas atau kemudahan-kemudahan lain yang memungkinkan dan penyiapan suatu Balai Yasa atau Depo yang memadai. Pada umumnya deteksi dini terhadap kerusakan peralatan produksi yang berwujud bunyi, getaran, kelainan-kelainan dalam operasi (fungsi suatu alat) dan menurunnya performansi perlu mendapat perhatian dan tanggapan yang serius. Unsur-unsur perawatan terdiri dari:
1. Maintainability Secara harfiah maintainability berarti kemudahan untuk dirawat, dan secara lengkap didefinisikan sebagai peluang sebuah mesin rusak dapat selesai diperbaiki dalam jangka waktu tertentu apabila perbaikan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari pernyataan tersebut adalah suatu hal yang sangat penting bagi para pengambil keputusan ketika menetapkan mesin-mesin mana yang harus dibeli (atau mesin-mesin mana yang harus dibuat), berikut pertimbangan maintainability.
 2. Availability Availability adalah fraksi (persentase) dari waktu suatu komponen atau sistem dioperasikan sesuai dengan interval waktu tertentu yang ditetapkan atau persentase dari komponen yang beroperasi pada suatu waktu tertentu. Setiap ketidakmampuan untuk mempertahankan tingkat output operasi yang ditetapkan adalah karena terjadinya kegagalan ataupun tidak dapat dioperasikannya peralatan secara tidak terencana . Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai tingkat availability untuk mengetahui setiap kegiatan dengan pasti dan mengetahui apa yang perlu ditangani. Ada dua parameter yang mengatur pengukuran untuk mengetahui tingkat availability yaitu:
A Mean Time Between Failure (MBTF) Suatu kegiatan perawatan dilaksanakan untuk memperbaiki kerusakan hingga mesin dapat berfungsi kembali. Lamanya mesin berhenti karena suatu kejadian menyebabkan hilangnya waktu yang semestinya dapat bersifat produktif. Karenanya total waktu mesin dalam keadaan siap kerja, sering digunakan sebagai tolok ukur kinerja perawatan, menunjukkan periode “up and down” suatu mesin.


Gambar 2. Kondisi “Up and Down” Suatu Mesin.
Adalah suatu hal yang alamiah bahwa periode-periode “Up” tidak sama satu dengan yang lainnya (TBF i-1 ≠ TBF I ≠ TBF i+1 ≠…, TBF = Time Between Failure). Oleh karena itu, mengambil nilai rata -rata seringkali memudahkan pekerjaan evaluasi program perawatan, sehingga MTBF = ∑ TBF i/n (n = jumlah “up” pada suatu periode). Untuk suatu periode dapat dijadi kan petunjuk keberhasilan, kegagalan program perawatan dengan membandingkannya MBTF pada periode lain.
b. Mean Time To Repair (MTTR) Kekhawatiran seringkali bersumber dari panjangnya waktu yang dihabiskan oleh setiap adanya perbaikan. Karena itu berbagai program perawatan telah dijalankan sesuai dengan manajemen untuk memudahkan waktu perawatan. Program-program dalam meningkatkan maintainability alat adalah salah satu diantaranya. Panjang rata-rata dari “down” akan lebih kecil bila kegiatan tersebut berjalan dengan baik dan apabila dinyatakan secara matematis, maka ukuran yang dicari MTTR = ∑ TTRi/n adalah sebagai berikut: A = MTBF/(MTBF/MTTR) ........... (1) Sehingga diketahui bahwa availability adalah nisbah fasilitas yang bersangkutan ada dalam keadaan “up” dibandingkan keseluruhan waktu tersedia untuk satu periode. Terlihat pula A akan tinggi apabila MTBF tinggi, MTTR rendah atau apabila kedua hal tersebut digunakan bersama dalam mengukur kinerja sistem perawatan yang berorientasi pada kinerja mesin atau kinerja produksi.
3. Reliability Kehandalan (reliability) adalah ukuran kemampuan suatu komponen atau peralatan untuk beroperasi secara terus-menerus tanpa adanya kerusakan. Kehandalan juga bisa didefinisikan sebagai probabilitas dimana ketika operasi berada dalam kondisi lingkungan tertentu, sistem akan menunjukkan kemampuannya sesuai dengan fungsi yang diharapkan dalam selang waktu tertentu. Dengan demikian kehandalan selalu dikaitkan dengan akumulasi waktu dimana suatu alat dapat terus beroperasi tanpa mengalami kerusakan dalam kondisi lingkungan tertentu dan kerusakan terjadi apabila alat tidak dapat berfungsi sesuai dengan yang diinginkan. Pola kerusakan komponen ditinjau dari fungsi laju kerusakan suatu komponen akan berubah sepanjang waktu. Dari beberapa pengamatan diketahui bahwa pola kerusakan suatu komponen merupakan kurva yang berbentuk bak mandi atau biasa disebut bath tub curve. Kurva ini terbagi menjadi tiga daerah atau tiga periode atau tiga fase.


 





Gambar 3. Kurva Bath Tub.
Setiap periode waktu mempunyai suatu karakteristik tertentu dengan laju kerusakan. Periode tersebut terbagi menjadi tiga fase yaitu:
a.       Fase I atau periode infant mortality (t0-t1) Fase ini disebut sebagai periode “early failure”, “burn-in”, atau “debugging” yang ditandai dengan menurunnya laju kerusakan. Fase ini menjelaskan bahwa peralatan yang diproduksi oleh suatu perusahaan atau pabrik tertentu, apabila digunakan pada awalnya untuk suatu masa tertentu memiliki tingkat kerusakan tertentu (tidak nol).
Terdapat beberapa alasan munculnya kerusakan operasi suatu komponen pada periode ini antara lain:
1) Pengendalian mutu yang kurang baik
2) Teknik pabrikan yang rendah
3) Metode pemrosesan di pabrik yang kurang baik
4) Penggunaan material dan pekerja yang berada di bawah standar
5) Kesulitan-kesulitan dalam perakitan
6) Kesalahan-kesalahan dalam pengepakan
7) Kerusakan pada saat penyimpanan dan pengangkutan
8) Kesalahan manusia. Kerusakan pada periode ini umumnya terjadi akibat kesalahan pembuatan (manufacture).
b. Fase II atau periode useful life (t1-t2).zx Fase ini disebut juga periode operasi normal   yang ditandai dengan laju kerusakan alat cenderung konstan sehingga laju kerusakan alat tidak akan naik walaupun umur operasi bertambah. Pada fase ini sering disebut “useful life period” yang merupakan suatu periode masa pakai alat dengan laju kerusakan komponen yang konstan/stabil.
Beberapa alasan dikemukakan terkait kerusakan ini yaitu:
 1) Faktor keamanan rendah
2) Kerusakan yang tidak dapat dideteksi oleh teknik pemeriksaan
3) Kerusakan-kerusakan yang tidak dapat dijelaskan
4) Kerusakan yang tidak dapat dihindarkan, dalam hal ini perawatan pencegahan tidak bermanfaat
5) Cacat yang tidak dapat ditemukan
6) Kesalahan manusia
7) Melampaui masa pakai dan kerusakan alamiah.
c. Fase III atau periode “wear out” (sesudah t2) Pada fase atau periode ini laju kerusakan naik, berarti laju kerusakan bertambah sesuai dengan bertambahnya umur operasi alat.
Pada pengausan akhir atau deteriosasi dapat diketahui dari sifat kimia, fisik atau penyebab lainnya seperti:
  1) Korosi atau oksidasi
  2) Akibat gesekan atau kelelahan
  3) Usia atau masa hidup dan degradasi
  4) Aus (creep)
  5) Perawatan yang tidak baik
  6) Pengerjaan overhaul yang salah;
  7) Waktu desain yang pendek
  8) Bahan yang retak-retak atau pecahpecah.
Kebijakan dalam menentukan lingkup perawatan sarana perkeretaapian, khususnya kereta api dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:
 1. Petunjuk atau instruksi dari pabrikan (manual instruction)
2. Undang-undang atau peraturan dan petunjuk teknis pemerintah
3. Pengalaman perusahaan kereta api
Dari ketiga butir di atas, maka ditetapkan jenis perawatan rutin yang diperlukan dan interval waktu perawatan untuk setiap jenis kereta api. Untuk kereta api dalam perawatan terjadwal yang terdapat peralatan/suku cadang yang harus diganti karena mengalami kerusakan atau untuk perawatan karena terjadi kerusakan (perawatan tidak terjadwal) harus dilakukan analisis dan laporan statistik terhadap penyebab terjadinya kerusakan tersebut, sehingga dapat diketahui kelemahan-kelemahan dari peralatan/suku cadang tertentu yang sering mengalami kerusakan (weak point analysis) atau karena salah penanganan. Dengan demikian untuk mengatasinya dapat dilakukan perbaikan teknologi (technical improvement) dari peralatan/suku cadang tersebut dan perawatan kereta api dapat digambarkan secara
diagmatrik.
 
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,Taufik.,Mardiono,Novan Agung, 2015, EVALUASI PERAWATAN SARANA PERKERETAAPIAN DI PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO),BANDUNG, UPT-Balai Pengembangan Instrumentasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung 30 Jl. Sangkuriang Bandung-Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar