MAINTENANCE KERETA API DI INDONESIA BERDASARKAN
SOP
Kereta
api (KA) adalah sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik
berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya yang akan ataupun
sedang bergerak di rel. KA juga merupakan alat transportasi massal yang umumnya
terdiri dari lokomotif (kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri)
dan rangkaian kereta api atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya).
Rangkaian kereta api atau gerbong tersebut berukuran relatif luas sehingga
mampu memuat penumpang atau barang dalam skala yang besar. PT. Kereta Api
Indonesia (Persero)/PT. KAI sebagai perusahaan yang menyediakan jasa layanan KA
dituntut untuk mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai angkutan
massal dengan tarif terjangkau. Manajemen prasarana KA saat ini memainkan peran
penting untuk menjawab tantangan bisnis transportasi KA (Marco Macci, dkk.,
2012). Situasi ini menciptakan tantangan 100 Jurnal Penelitian Transportasi
Darat, Volume 17, Nomor 2, Juni 2015: 99-110 tersendiri bagi PT. KAI dalam
konteks manajemen perawatan, baik perawatan sarana maupun prasarana, mengingat
berbagai macam material/ komponen teknologi yang digunakan oleh KA membuat tata
kelola sumber daya yang terlibat dalam operasi perawatan merupakan persoalan
yang kompleks (UNIFE, 2008). Memang banyak cara bagi operator KA untuk memenuhi
aturan yang mengikat terkait dengan aspek keselamatan (Den Hertog D, dkk.
(2001), Van Zante-de Fokkert JI, dkk. (2001), Roberts C, dkk. (2002)).
Di
beberapa negara, menentukan prosedur perawatan dan frekuensi untuk perawatan
preventif bertujuan utama memberikan tingkat keselamatan yang tinggi (Carretero
J. dkk., 2003). Beberapa negara telah melakukan perawatan KA dengan berbagai
macam analisis, diantaranya Pedregal dkk. (2004) menggarisbawahi bagaimana operator
kereta api merestrukturisasi manajemen perawatannya melalui penggabungan
beberapa teknik, seperti Reliability Centered Maintenance (RCM) dan perawatan
prediktif guna mencapai pengendalian yang ketat terhadap kualitas layanan dan
biaya efektifitas sirkulasi kereta api. Kumar dkk. (2000) telah menunjukkan
bagaimana tindakan preventif dalam pekerjaan perawatan KA dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan kegagalan pada komponen-komponen KA. Sedangkan Zio dkk.
(2007) mengusulkan pendekatan risiko-informasi untuk meningkatkan pelayanan
jaringan KA, sembari mempertahankan standar keselamatan yang tinggi. Tulisan
ini mengetengahkan evaluasi perawatan sarana perkeretaapian pada Balai Yasa dan
Depo sarana perkeretaapian dengan melakukan pemetaan terhadap kondisi
peralatan/mesin sebagai dasar untuk pembinaan dan penilaian uji kelaikan sarana
perkereta apian. Peralatan yang direkomendasikan tersebut termasuk juga
peralatan pengujian dan peralatan pemeriksaan sarana perkeretaapian serta
peralatan kerja lainnya.

Gambar
1. Klasifikasi Perawatan.
Perawatan
terencana merupakan perawatan yang diorganisasikan dan dilakukan dengan
pemikiran ke masa depan, pengendalian dan pencatatan dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam perawatan terencana, suatu peralatan akan mendapat
giliran perbaikan sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan sehingga
kerusakan yang lebih besar dapat dihindari. Interval waktu perbaikan ini
ditentukan terutama berdasarkan beban dan derajat kerumitan peralatan yang
bersangkutan. Di samping itu, dengan perawatan terencana diharapkan pula dapat
menjamin keakuratan produksi sehingga pada akhirnya kualitas, hasil dan
kelangsungan produksi dapat terpelihara dengan baik. Perawatan terencana
terbagi menjadi perawatan pencegahan (preventive maintenance) dan perawatan
korektif (corrective maintenance).
Perawatan
pencegahan merupakan perawatan yang dilakukan untuk memperbaiki suatu bagian
(termasuk penyetelan dan reparasi) yang telah terhenti untuk memenuhi suatu
kondisi yang bisa diterima. Perawatan pencegahan termasuk di dalamnya adalah
cleaning, inspection, perawatan jalan (running maintenance) yaitu perawatan
yang dapat dilakukan selama mesin beroperasi, dan perawatan berhenti (shut
down) yaitu perawatan yang hanya dapat dilakukan selama mesin berhenti. Melalui
pemanfaatan prosedur perawatan pencegahan yang baik, dimana terjadi koordinasi
antara staf bagian produksi maupun staf bagian perawatan sehingga kerugian
operasional dapat diperkecil, diantaranya mengurangi biaya perbaikan dan menghilangkan
interupsi jadwal yang telah direncanakan. Hubungan harmonis antara staf bagian
produksi dan staf perawatan sangat diperlukan guna menghasilkan produk
berkualitas dengan efisiensi tinggi dan biaya rendah. Pada dasarnya perawatan
pencegahan memegang prinsip bahwa mencegah terjadinya kerusakan lebih baik
daripada memperbaikinya. Pencegahan seharusnya sudah diantisipasi sejak
perencanaan alat kerja, alat uji atau pemeriksaan, lokasi, fasilitas penunjang
memberikan aksesibilitas atau kemudahan-kemudahan lain yang memungkinkan dan
penyiapan suatu Balai Yasa atau Depo yang memadai. Pada umumnya deteksi dini
terhadap kerusakan peralatan produksi yang berwujud bunyi, getaran,
kelainan-kelainan dalam operasi (fungsi suatu alat) dan menurunnya performansi
perlu mendapat perhatian dan tanggapan yang serius. Unsur-unsur perawatan
terdiri dari:
1.
Maintainability Secara harfiah maintainability berarti kemudahan untuk dirawat,
dan secara lengkap didefinisikan sebagai peluang sebuah mesin rusak dapat
selesai diperbaiki dalam jangka waktu tertentu apabila perbaikan dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari pernyataan tersebut adalah suatu hal
yang sangat penting bagi para pengambil keputusan ketika menetapkan mesin-mesin
mana yang harus dibeli (atau mesin-mesin mana yang harus dibuat), berikut
pertimbangan maintainability.
2. Availability Availability adalah fraksi
(persentase) dari waktu suatu komponen atau sistem dioperasikan sesuai dengan
interval waktu tertentu yang ditetapkan atau persentase dari komponen yang
beroperasi pada suatu waktu tertentu. Setiap ketidakmampuan untuk
mempertahankan tingkat output operasi yang ditetapkan adalah karena terjadinya
kegagalan ataupun tidak dapat dioperasikannya peralatan secara tidak terencana
. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai tingkat availability untuk
mengetahui setiap kegiatan dengan pasti dan mengetahui apa yang perlu
ditangani. Ada dua parameter yang mengatur pengukuran untuk mengetahui tingkat
availability yaitu:
A
Mean Time Between Failure (MBTF) Suatu kegiatan perawatan dilaksanakan untuk
memperbaiki kerusakan hingga mesin dapat berfungsi kembali. Lamanya mesin
berhenti karena suatu kejadian menyebabkan hilangnya waktu yang semestinya
dapat bersifat produktif. Karenanya total waktu mesin dalam keadaan siap kerja,
sering digunakan sebagai tolok ukur kinerja perawatan, menunjukkan periode “up
and down” suatu mesin.

Gambar 2. Kondisi “Up and Down” Suatu Mesin.
Adalah
suatu hal yang alamiah bahwa periode-periode “Up” tidak sama satu dengan yang
lainnya (TBF i-1 ≠ TBF I ≠ TBF i+1 ≠…, TBF = Time Between Failure). Oleh karena
itu, mengambil nilai rata -rata seringkali memudahkan pekerjaan evaluasi
program perawatan, sehingga MTBF = ∑ TBF i/n (n = jumlah “up” pada suatu
periode). Untuk suatu periode dapat dijadi kan petunjuk keberhasilan, kegagalan
program perawatan dengan membandingkannya MBTF pada periode lain.
b.
Mean Time To Repair (MTTR) Kekhawatiran seringkali bersumber dari panjangnya
waktu yang dihabiskan oleh setiap adanya perbaikan. Karena itu berbagai program
perawatan telah dijalankan sesuai dengan manajemen untuk memudahkan waktu
perawatan. Program-program dalam meningkatkan maintainability alat adalah salah
satu diantaranya. Panjang rata-rata dari “down” akan lebih kecil bila kegiatan
tersebut berjalan dengan baik dan apabila dinyatakan secara matematis, maka
ukuran yang dicari MTTR = ∑ TTRi/n adalah sebagai berikut: A = MTBF/(MTBF/MTTR)
........... (1) Sehingga diketahui bahwa availability adalah nisbah fasilitas
yang bersangkutan ada dalam keadaan “up” dibandingkan keseluruhan waktu
tersedia untuk satu periode. Terlihat pula A akan tinggi apabila MTBF tinggi,
MTTR rendah atau apabila kedua hal tersebut digunakan bersama dalam mengukur
kinerja sistem perawatan yang berorientasi pada kinerja mesin atau kinerja
produksi.
3.
Reliability Kehandalan (reliability) adalah ukuran kemampuan suatu komponen
atau peralatan untuk beroperasi secara terus-menerus tanpa adanya kerusakan.
Kehandalan juga bisa didefinisikan sebagai probabilitas dimana ketika operasi
berada dalam kondisi lingkungan tertentu, sistem akan menunjukkan kemampuannya
sesuai dengan fungsi yang diharapkan dalam selang waktu tertentu. Dengan
demikian kehandalan selalu dikaitkan dengan akumulasi waktu dimana suatu alat
dapat terus beroperasi tanpa mengalami kerusakan dalam kondisi lingkungan
tertentu dan kerusakan terjadi apabila alat tidak dapat berfungsi sesuai dengan
yang diinginkan. Pola kerusakan komponen ditinjau dari fungsi laju kerusakan
suatu komponen akan berubah sepanjang waktu. Dari beberapa pengamatan diketahui
bahwa pola kerusakan suatu komponen merupakan kurva yang berbentuk bak mandi
atau biasa disebut bath tub curve. Kurva ini terbagi menjadi tiga daerah atau
tiga periode atau tiga fase.

Gambar 3. Kurva Bath Tub.
Setiap
periode waktu mempunyai suatu karakteristik tertentu dengan laju kerusakan.
Periode tersebut terbagi menjadi tiga fase yaitu:
a. Fase
I atau periode infant mortality (t0-t1) Fase ini disebut sebagai periode “early
failure”, “burn-in”, atau “debugging” yang ditandai dengan menurunnya laju
kerusakan. Fase ini menjelaskan bahwa peralatan yang diproduksi oleh suatu
perusahaan atau pabrik tertentu, apabila digunakan pada awalnya untuk suatu
masa tertentu memiliki tingkat kerusakan tertentu (tidak nol).
Terdapat beberapa alasan munculnya
kerusakan operasi suatu komponen pada periode ini antara lain:
1) Pengendalian mutu yang kurang baik
2) Teknik pabrikan yang rendah
3) Metode pemrosesan di pabrik yang kurang
baik
4) Penggunaan material dan pekerja yang
berada di bawah standar
5) Kesulitan-kesulitan dalam perakitan
6) Kesalahan-kesalahan dalam pengepakan
7) Kerusakan pada saat penyimpanan dan
pengangkutan
8) Kesalahan manusia. Kerusakan pada periode ini
umumnya terjadi akibat kesalahan pembuatan (manufacture).
b.
Fase II atau periode useful life (t1-t2).zx Fase ini disebut juga periode
operasi normal yang ditandai dengan
laju kerusakan alat cenderung konstan sehingga laju kerusakan alat tidak akan
naik walaupun umur operasi bertambah. Pada fase ini sering disebut “useful life
period” yang merupakan suatu periode masa pakai alat dengan laju kerusakan komponen
yang konstan/stabil.
Beberapa
alasan dikemukakan terkait kerusakan ini yaitu:
1) Faktor keamanan rendah
2)
Kerusakan yang tidak dapat dideteksi oleh teknik pemeriksaan
3)
Kerusakan-kerusakan yang tidak dapat dijelaskan
4)
Kerusakan yang tidak dapat dihindarkan, dalam hal ini perawatan pencegahan
tidak bermanfaat
5)
Cacat yang tidak dapat ditemukan
6)
Kesalahan manusia
7)
Melampaui masa pakai dan kerusakan alamiah.
c.
Fase III atau periode “wear out” (sesudah t2) Pada fase atau periode ini laju
kerusakan naik, berarti laju kerusakan bertambah sesuai dengan bertambahnya
umur operasi alat.
Pada
pengausan akhir atau deteriosasi dapat diketahui dari sifat kimia, fisik atau
penyebab lainnya seperti:
1) Korosi atau oksidasi
2) Akibat gesekan atau kelelahan
3) Usia atau masa hidup dan degradasi
4) Aus (creep)
5) Perawatan yang tidak baik
6) Pengerjaan overhaul yang salah;
7) Waktu desain yang pendek
8) Bahan yang retak-retak atau pecahpecah.
Kebijakan dalam menentukan lingkup perawatan sarana perkeretaapian,
khususnya kereta api dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:
1. Petunjuk atau instruksi dari
pabrikan (manual instruction)
2. Undang-undang atau peraturan dan petunjuk teknis pemerintah
3. Pengalaman perusahaan kereta api
Dari ketiga butir di atas, maka ditetapkan jenis perawatan rutin yang
diperlukan dan interval waktu perawatan untuk setiap jenis kereta api. Untuk
kereta api dalam perawatan terjadwal yang terdapat peralatan/suku cadang yang
harus diganti karena mengalami kerusakan atau untuk perawatan karena terjadi
kerusakan (perawatan tidak terjadwal) harus dilakukan analisis dan laporan
statistik terhadap penyebab terjadinya kerusakan tersebut, sehingga dapat
diketahui kelemahan-kelemahan dari peralatan/suku cadang tertentu yang sering
mengalami kerusakan (weak point analysis) atau karena salah penanganan. Dengan
demikian untuk mengatasinya dapat dilakukan perbaikan teknologi (technical
improvement) dari peralatan/suku cadang tersebut dan perawatan kereta api dapat
digambarkan secara
diagmatrik.
diagmatrik.

DAFTAR
PUSTAKA
Hidayat,Taufik.,Mardiono,Novan Agung, 2015, EVALUASI
PERAWATAN SARANA PERKERETAAPIAN DI PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO),BANDUNG, UPT-Balai
Pengembangan Instrumentasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung 30 Jl.
Sangkuriang Bandung-Indonesia